Ulasan “Inside Out” (2015), Bukan Kartun Biasa
Ini bukan kartun.Ini “Inside Out”!
Yap, mungkin itu dua kalimat yang terlintas saat ditanya apa bagusnya film kartun “Inside Out”? Film ini adalah proyek Pixar dan Disney yang ambisius secara visual dan cerita. Kenapa? Untuk visual tentu saja kita udah tau betapa kerennya film-film jebolan Pixar. Sementara untuk Disney, ini sebuah cerita yang riskan untuk dirilis. Film ini mengangkat tema yang mungkin tidak akan bisa dicerna semudah “Frozen” atau “Toy Story”. Ya, segmentasi film ini agaknya bukan untuk anak kecil, meski mereka pasti akan dimanjakan dengan animasi kelas wahid. Tapi nampaknya film ini berhasil dalam keduanya.
Cerita dimulai ketika seorang anak perempuan bernama Riley (Kaitlyin Dias) lahir ke dunia. Di dalam otaknya ada tim emosi yang menjalankan semacam control room. Tim tersebut terdiri dari kebahagiaan (Joy/Amy Poehler), kesedihan (Sadness/Phyllis Smith), ketakutan (Fear/Bill Hader), kemarahan (Anger/Lewis Black) dan rasa jijik (Disgust/Mindy Kaling). Semua emosi tersebut dipersonifikasi dalam karakter yang benar-benar sepadan bobotnya. Kesemuanya sama pentingnya bagi Riley.
Riley yang ketika kecil dipenuhi rasa bahagia akhirnya setelah menginjak usia 11 tahun ia sudah merasakan bahwa hidup tak sepenuhnya menyenangkan. Dia mulai dikecewakan orangtua, sahabat, bahkan oleh dirinya sendiri. Familier? Bukankah kita semua pernah merasakan itu? Ya, ini hebatnya “Inside Out” yang mampu menembus semua pribadi karena ceritanya memang bisa di-relate oleh hampir semua orang.
Peran Joy kemudian jadi vital dengan konflik yang dialami Riley perlahan menghancurkan “Pulau-Pulau Kepribadian” Riley; Keluarga, Hockey, Persahabatan, Kekonyolan. Pulau-pulau tersebut adalah unsur pembentuk Riley sebagai pribadi. Di dalamnya terdapat berbagai kenangan yang datanya dikumpulkan setiap hari.
Di film ini kita diajak untuk memahami cara pikir kita. Bahwa semua hal, baik itu menyedihkan, menyenangkan, menakutkan, menjijikkan, menyebalkan – sama pentingnya untuk membentuk kita sebagai pribadi yang utuh. Those are what make us human, right? Peran Joy yang berusaha mengendalikan semua emosi tampak jelas di sini. Dia terlihat selalu berusaha meredam Sadness, Anger, Disgust dan Fear. Bukankah itu manusia banget? Kita semua selalu menginginkan kebahagiaan, kan? Ya, film ini begitu detail dalam menggambarkan emosi dan semuanya didasarkan pada realitas bukan imajinasi asal-asalan. Salut.
“Inside Out” memang tidak mudah dicerna tapi film ini mungkin bisa menjadi preseden bagi animasi yang sama sekali tidak bisa dianggap kekanak-kanakan. Layaknya film live action, film animasi nantinya dapat dianggap tidak kalah dalam menyajikan materi yang membutuhkan pemahaman kompleks dan relevan dengan kehidupan nyata. Plus, animasi lebih kaya warna dan menawarkan imajinasi tanpa batas.
Walau tidak mudah dicerna, jangan berpikir film ini tidak mudah untuk dinikmati. Film ini sangat menghibur dengan lelucon-lelucon yang kita alami sehari-hari. Seperti monolog “Dasar laki-laki gak peka” di otak wanita ketika suaminya malah asyik memikirkan sepak bola di otaknya saat anaknya yang murung di meja makan butuh perhatian dari bapaknya.
Sehabis menonton “Inside Out” ini mungkin kita akan lebih memahami perasaan yang bergejolak di dalam otak. Semua pertimbangan dan monolog dalam hati tidak akan lagi terasa asing karena film ini telah mengajarkan bagaimana hal tersebut diproses di dalam otak kita. Jadi ketika nanti diklakson orang menyebalkan di perempatan dan ingin turun nonjok dia, kita tahu bahwa Anger sedang mengambil alih control room atau bisa juga Joy, karena yang ngelakson ternyata cewek bahenol pengen minta nomor telepon.
“Inside Out” adalah sebuah film yang wajib ditonton oleh siapa saja yang memiliki emosi.
sumber:http://mumovi.com/2015/07/ulasan-inside-out-bukan-kartun-biasa/
0 Response to "Inside Out"
Posting Komentar